Pilar-pilar Kesempurnaan Ibadah

Sasaran : Memahami unsur-unsur penting dalam kesempurnaan ibadah
Sebagai seorang muslim kita tidak hanya dituntut untuk melaksanakan ibadah secara lahir saja, akan tetapi yang penting adalah bagaimana agar kita dapat menghadirkan hati dan senantiasa merasakan pengawasan Allah dalam menjalani hidup ini.
Makna Ibadah 
Di dalam Islam, ibadah merupakan puncak ketundukan dan pengakuan atas keagungan dzat yang diibadahi. Ibadah merupakan tangga penghubung antara Al Khaliq dengan makhluk-Nya. Ibadah juga memiliki dampak yang amat besar pada diri manusi dalam berinteraksi dengan sesama makhlukNya. Dalam hal ini sama saja Rukun Islam (yaitu shalat, shaum, zakat, dan haji) dengan seluruh ibadah lainnya yang dilakukan manusia yang ditujukan untuk mencapai ridhoNya dan melaksanakan syariatNya. Logika Islam menghendaki agar seluruh kehidupan merupakan pengabdian (ibadah) dan ketaatan. Dan itulah yang dimaksud dengan firman Allah :
"Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku. Aku tidak menginginkan rezeki dari mereka. Dan Aku tidak menginginkan mereka memberi makan kepadaKu. Sesunguhnya Allah dialah pemberi rezki yang memiliki kekuatan yang kokoh." (Adz-dzariyat : 56) Dan firmannya : "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam." (Al An'am :162) 
Syarat Diterimanya Ibadah
1. Benar keyakinannya (beriman/mukmin); dengan kemauan yang kuat dan tidak raguragu. Orang kafir dan orang yang imannya diliputi keraguan, amalnya tidak diperhitungkan sebagai ibadah kepada Allah.
2. Ikhlas Lillahi Ta'ala (QS. 98 : 5)
3. Mengikuti syariat Allah dan RasulNya. "Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami (Allah dan Rasulullah), maka amalan tersebut tertolak." (HR. Muslim)
Pilar-Pilar Kesempurnaan Ibadah
1. Menjadikan ibadah kita hidup dan bersambung dengan Al Ma'bud (Allah). Dan ini merupakan taraf ihsan dalam ibadah. Rasulullah pernah ditanya tentang ihsan, beliau menjawab : "Engkau beribadah kepada Allah (dengan sikap) seolah-olah engkau melihatNya. Maka jika engkau tidak dapat melihatNya sesungguhnya Allah melihatmu.: (Bukhari dan Muslim)
2. Menjadikan ibadah kita khusyu' sehingga kita dapat merasakan hangatnya hubungan dan mesranya kekhusyu'an. Siti Aisyah mengatakan : "Adalah Rasulullah SAW (biasa) berbicara dengan kami dan kami berbicara dengan beliau. Tapi apabila datang waktu shalat, seolah-olah beliau tidak mengenal kami dan kami tidak mengenal beliau." (Diriwayatkan oleh Al azdy)
3. Beribadah dengan hati yang hadhir (penuh kesadaran) dan menjauhkan pemikiran tentang kesibukan dunia dan problematikan yang terjadi di sekitar kita. Ada orang yang mengatakan : "Shalat itu akhirat. Jika engkau memasuki (shalat) maka engkau keluar dari dunia."
4. Tidak pernah putus asa dan kenyang dalam beribadah. Kita harus terus mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah nafilah, sesuai dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsy : Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih-Ku), maka Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan suatu perbuatan yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan seorang hambaKu terus-menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah nafilah sehingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, akulah penglihatannya yang dengannya ia melihat, Akulah tangannya yang dengannya ia memukul; dan akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Kalau ia meminta kepadaKu, niscaya Aku beri dan jika ia meminta perlindungan kepadaKu niscaya akan aku lindungi." (Muslim)
5. Memelihara qiyaamullail dan melatih diri agar terbiasa melakukannya, karena qiyaamullail merupakan salah satu pembangkit iman yang paling kuat. Maha benar Allah ketika berfirman : "Sesungguhnya bangun di waktu malam itu lebih besar pengaruhnya dan bacaan di waktu itu lebih berkesan." (Al Muzzammil : 6). Qs. Adz-Dzariyat : 17-18; QS. As Sajadah : 16
6. Mempunyai waktu khusus untuk mengkaji dan merenungkan Al Qur'an terutama di waktu subuh, karena Allah berfirman dalam QS Al Israa' : 78 yang berbunyi : "Sesungguhnya bacaan Al Qur'an di waktu subuh itu disaksikan (oleh para Malaikat)".
7. Menjadikan do'a sebagai mi'roj kepada Allah dalam setiap urusan kehidupan, karena do'a itu sumsum ibadah. Dan harus memelihara do'a yang matsur. Allah SWT berfirman : "Berdo'alah kepadaKu, niscaya Aku mengabulkan untuk kalian." (Ghofir : 60)
"Niat untuk selalu tampak indah dan menarik adalah suatu kewajaran, namun Allah Maha Mengetahui apa-apa yang melintas di hati kita, apabila niat kita tergelincir ke dalam kemaksiatan dan kesia-siaan bisa jadi Allah akan memberikan jalan terbukanya bencana bagi kita, oleh karenanya bersungguhsungguhlah berniat hanya untuk menggapai ridha Allah."  source:Quantum Mentoring
Read More »

Ilmu Tanpa Jiwa

http://www.insistnet.com/
Pada bulan Desember 2008 lalu, INSISTS bekerjasama dengan FISIP-UI menggelar sebuah seminar bertajuk “Dewesternisasi Pengetahuan dan Islamisasi Pengetahuan Kontemporer” bertempat di kampus UI Depok. Tampil sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, dan Dr. Khalif Muammar. Ketika itulah, Prof. Mulyadhi, guru besar di UIN Jakarta, memaparkan makalah berjudul “Kritik Terhadap Psikologi Modern”.

Selama ini, Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (Kamus Bahasa Indonesia, 2008 atau “the scientific study of the mind and how it influences behaviour” (Oxford Advanced Genie). Pada awalnya pembahasan mengenai jiwa dilakukan pada masa pra-modern, secara spesifik pada masa Yunani Kuno. Jiwa dibahas sebagai sesuatu yang bukan bertempat material dan sesuatu yang abadi. Pembahasan demikian pun dikontraskan dengan deskripsi tentang tubuh sebagai sesuatu yang material dan tidak abadi. Pandangan seperti ini dapat dikenali dari tokoh seperti Phytagoras dan Plato (lihat karya Bertrand Russel Sejarah Filsafat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang).

Menurut Mulyadhi, memasuki abad ke-20, psikologi memisahkan diri dari filsafat dan menjadi cabang tersendiri dengan menerapkan metode ilmiah empiris sebagai syarat bagi diterimanya psikologi sebagai sains modern. Di masa inilah mulai bermunculan pelbagai aliran, seperti aliran biologis (neurobiologis), aliran behaviorisme, aliran psikoanalisis, aliran kognitif, dan aliran humanis.


Dalam perkembangannya kemudian, bermunculan bermacam kritik. Dengan meletakkan basis psikologi biologis pada otak, misalnya, maka psikologi tidak lagi berbasis jiwa, melainkan berbasis otak. Pandangan materialistik semacam ini, menurut Mulyadhi, merupakan aliran mainstream dari psikologi. Aliran behaviorisme dan psikoanalisis pun memiliki masalah karena psikologi menjadi dipahami dalam arti biologi, dengan terma-terma fisika. Huston Smith (2003: 233) mengatakan bahwa psikologi kognitif mendorong orang kembali pada materialisme mental. Bahkan, lebih jauh lagi, kembali dengan penuh semangat menggebu-gebu yang nyaris tak terkendali.

Jika pandangan psikologi adalah berbasis pada materi, simpul Mulyadhi Kartanegara, maka disiplin ilmu ini telah melepaskan objek paling inti selama ini dari psikologi, yaitu jiwa. Padahal dari sinilah psikologi mendapatkan namanya (psyche). Berangkat dari kesimpulan Prof. Mulyadhi tersebut, bisa dikatakan, bahwa Psikologi modern adalah “Ilmu Jiwa minus Jiwa” itu sendiri.

Mengapa bisa begitu? Akar masalahnya adalah sekularisasi terhadap jiwa, yang akhirnya mengakibatkan penafian keabadian jiwa dan kemudian penafian Hari Akhir. Dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elements of The Worldview of Islam Sekularisasi, (2001), Prof. Naquib al-Attas, mendefinisikan Sekularisasi sebagai “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.

Dengan berbasis kepada materi dan pensekularan jiwa, maka jiwa – yang bernilai tinggi -- telah ditempatkan lebih rendah, direduksi menjadi sekadar efek dari materi (epifenomenal). Apa yang diungkapkan Profesor Mulyadhi menunjukkan hal tersebut. Jiwa yang sebelumnya dipandang lebih tinggi derajatnya dari tubuh, tidak bersifat materi, dan bersifat abadi, diletakkan dalam martabat yang lebih rendah, yang 180 derajat berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya.

Berangkat dari fakta penafian “jiwa” dalam Ilmu Jiwa modern, maka muncullah tata-nilai yang serba meterialistik. Gangguan jiwa, misalnya, hanya dikaitkan dengan soal “gangguan syaraf dan gangguan otak”. Padahal, dalam pandangan Islam, orang yang cinta dunia (hubbud-dunya) bisa dikatakan sebagai orang yang “terganggu jiwanya”. Karena itu, adalah tugas para ilmuwan Muslim untuk meletakkan “jiwa manusia” pada tempat yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Wallahu A’lam. (***)



Penulis: Khayrurrijal


(Pegiat Komunitas Nuun, FIB-UI)
Read More »

ADAB MENUNTUT ILMU

Oleh : Majid bin Su’ud Alu ‘Usyin
Penerjemah Fuad Hamzah, Lc

Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus diperhatikan, berikut di antaranya.

BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU
  1. Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ.
  2. Berdoa kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.
  3. Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.
  4. Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.
  5. Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat  Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)
  6. Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. ash-Shaf: 2-3)

Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 14)
  1. Merasa sedih tatkala ada masyayikh yang sezaman tapi tidak sempat bertemu, serta mencontoh adab dan akhlak mereka.
al-Khalal meriwayatkan akhlak Imam Ahmad rahimahullahu dari Ibrahim, ia berkata: “Apabila mereka mendatangi seseorang yang akan mereka ambil ilmunya, mereka memperhatikan shalat, kehormatan dan gerak-gerik serta tingkah lakunya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.
Dan dari al-A’masy rahimahullahu berkata, “Orang dahulu belajar kepada ahli fikih tentang semua hal termasuk pakaian dan sandalnya. (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 145)
  1. Sopan santun dalam menuntut ilmu.
  2. Kontinyu (konsisten) untuk hadir dan tidak malas.
10.  Tidak berputus asa dan mencela diri (merendahkan diri). Hendaknya ingat firman Allah ta’âlâ:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)
Terlebih apabila kesulitan dalam mempelajari sesuatu.
11.  Membaca kitab-kitab yang berkaitan dengan thalabul ilmi dan mempelajari metode yang benar dalam menuntut ilmu, serta berusaha mengetahui kekurangan dan kesalahan yang ada pada dirinya.
12.  Antusias untuk hadir lebih awal dan mempergunakan waktu dengan baik.
13.  Berusaha melengkapi pelajaran yang terlewatkan.
14.  Mencatat faedah pada halaman depan atau buku catatan.
15.  Berusaha keras untuk mengulang-ulang faedah yang telah didapatkan.
16.  Tatkala membeli buku hendaknya diperhatikan terlebih dahulu.
17.  Tidak melemparkan kitab ke tanah.
Ada seseorang yang melakukan itu di hadapan Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau marah seraya mengatakan, “Beginikah kamu memperlakukan ucapan orang-orang baik?” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 389)
18.  Tidak memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.
Imam al-Bukhari berkata: Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:
أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟
Ada seorang Arab Badui bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya, kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.” (al-Fath, jilid 1, hlm. 171)
19.  Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)
20.  Sopan tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)
21.  Membaca biografi para ulama.
22.  Membaca topik dan tema yang berbeda sebelum tiba waktunya. Seperti Ramadhan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh awal dzulhijah dan kurban.
23.  Antusias untuk membeli kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan-permasalahan fikih. Seperti kitab yang berkaitan dengan sunnah-sunnah Rawatib atau qiyamullail, dll.
24.  Memprioritaskan hal-hal yang utama dalam menuntut ilmu.
25.  Memulai dengan yang lebih penting.
Sebagaimana petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memulai yang lebih penting yang beliau lakukan dengan tujuan itu. Oleh karena itu tatkala ‘Utban bin Malik memanggil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berkata kepada beliau, “Aku ingin Anda datang untuk shalat di rumahku, supaya aku jadikan tempat itu menjadi mushalla”, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar beserta beberapa orang sahabatnya.
Tatkala sampai di rumah ‘Utban, mereka meminta izin untuk masuk, kemudian mereka masuk, dan ‘Utban telah membuatkan makanan untuk mereka, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak makan terlebih dahulu, bahkan berkata: “Dimana tempat yang ingin kamu jadikan mushalla itu?” kemudian diperlihatkan kepada beliau, kemudian beliau shalat, setelah itu baru duduk untuk menyantap hidangan. (HR. al-Bukhari, no. 425 & 667, Muslim, no. 263 dan disebutkan juga oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarh Riyadhu ash-Shalihin, jilid 3, hlm. 98)
26.  Tidak sok pintar.
27.  Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala   tatkala menyebut-Nya.
28.  Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala menyebutnya.
29.  Mengucapkan radhiyallahu ‘anhum (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ) kepada para sahabat tatkala menyebut mereka.
30.  Mengucapkan rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) kepada para ulama tatkala menyebut mereka.
31.  Tidak menyandarkan sesuatu kepada maraji’ apapun kecuali apabila kita membaca berita itu darinya.
32.  Tidak menyandarkan hadits kepada selain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim apabila hadits itu ada pada keduanya atau salah satu dari keduanya.
33.  Berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menyalin.
34.  Menyandarkan faedah kepada yang empunya.
35.  Tidak meremehkan faedah walaupun sedikit.
36.  Tidak menyembunyikan faedah.
37.  Tidak mempergunakan dalil hadits dhaif atau maudhu’.
38.  Tidak mendhaifkan hadits, kecuali setelah meneliti an menanyakan kepada ahlinya.
39.  Tidak mengacuhkan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepada dirinya, karena itu dapat mendorong anda untuk meneliti dan menggali lebih dalam masalah itu.
40.  Membawa buku catatan kecil untuk mencatat faedah-faedah dan berbagai macam permasalahan.
41.  Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.
42.  Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak manuskrip atau satu buku yang berbeda penerbitnya, terkecuali ada faedahnya.
43.  Mengunjungi perpustakaan-perpustakaan untuk menelaah kitab-kitab yang ada.
44.  Menghindari keumuman istilah ilmiah yang mirip lafazhnya.[2]
45.  Antusias untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan istilah-istilah penulis atau menjelaskan metode kitab dan bahasan-bahasannya.
46.  Tidak terburu-buru dalam memahami ucapan, baik yang tertulis atau yang terdengar. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dari Ayub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Apabila ia mengulangi soal itu sama seperti awal, maka ia jawab, kalau tidak maka beliau pun tidak menjawabnya.” (I’lam al-Muwaqi’in 2/187)
47.  Banyak membaca kitab-kitab tentang fatwa-fatwa.
48.  Tidak terburu-buru untuk menafikan secara umum.
49.  Apabila anda meriwayatkan hadits secara makna hendaknya anda jelaskan hal itu.
50.  Hindari penggunaan lafadz-lafadz pengagungan untuk memuji diri sendiri.
51.  Terimalah kritikan dan nasihat dengan lapang dada bukan karena basa basi.
52.  Tidak sedih dan patah semangat karena sedikitnya orang yang belajar darinya. Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Atha’ bin Abi Rabah bahwasanya dia, tidak ada yang duduk bersamanya (dalam menuntut ilmu –pent) kecuali sembilan atau delapan orang saja. (Siyar A’lam an-Nubala` 8/107)
53.  Tidak menghabiskan waktu untuk membahas perkara-perkara yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil lagi aneh, seperti warna anjng Ashabul Kahfi, pohon yang Nabi Adam p memakan buah darinya, dan panjang kapal Nabi Nuh p, dll.
54.  Tidak terpancing untuk keluar jauh dari fokus pembahasan.
55.  Tidak berlebih-lebihan dalam merangkai kata-kata dan menjelaskan ucapan serta tidak mempergunakan ibarat dan istilah yang asing.
56.  Tidak berbicara tanpa ilmu, dan tidak merasa kesal  jika pertanyaannya tidak dijawab.
57.  Tidak terpengaruh dengan celaan pribadi apabila agamamu selamat, dan ingatlah ucapan penyair:
وَإِنْ بُلِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ     فَكُنْ كَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ وَلَمْ يَقُلْ
Apabila engkau diuji dengan orang yang tidak baik
Maka bersikaplah seolah-olah engkau tidak mendengarnya dan dia tidak berkata
58.  Tidak berputus asa.
59.  Semangat dalam menjalankan shalat malam.
60.  Tidak banyak bicara, istirahat dan tidur dalam menuntut ilmu.
61.  Secara khusus thalibul ilmi dan secara umum seorang muslim:
  1. Memenuhi kebutuhan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا.
Berilah syafaat niscaya kalian dapat pahala. (HR. al-Bukhari)
  1. Menepati janji. Allah memuji para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya tentang Nabi Ismail :
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam: 54)
  1. Bijaksana, sabar dan lemah lembut. Allah ta’âlâ berfirman:
Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf: 199)

As-Sam’ani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab al-Ansab, adz-Dzahabi dalam kitab Tajrid ash-Shahabah, tentang biografi Auf bin Nu’man, berkata: Di masa jahiliyah dahulu dia lebih senang untuk mati dalam kondisi kehausan dari pada mati dalam kondisi ingkar janji, sebagaimana disebutkan:

إِذَا قُلْتَ  فِي شَيْءٍ  نَعَمْ  فَأَتِمَّهُ                           فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ وَاجِبُ
وَإِلاَّ فَقُلْ لاَ وَاسْتَرِحْ وَأَرِحْ بِهَا                            لِئَلاَّ يَقُوْلَ النَّاسُ: إِنَّكَ كَاذِبُ

Apabila anda telah mengatakan ‘ya’ maka laksanakanlah
Karena ucapan ‘ya’ adalah hutang yang harus di lunasi
Kalau tidak mampu katakanlah ‘tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak mengatakan anda pendusta
  1. Tawadhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bertawadhu’, supaya tidak ada yang membanggakan dan menyombongkan diri. (HR. Muslim)
  1. Gembira, lapang dada, dan mau mendengarkan problema orang lain.
  2. Mengajak bicara dan memberi nasihat kepada manusia.
‘Ikrimah rahimahullahu mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : “Nasihati manusia satu jum’at sekali, jikalau mau maka dua kali, jika mau maka tiga kali, jangan bikin mereka bosan dengan al-Qur`an dan jangan mendatangi mereka tatkala sedang dalam urusannya dan kau sela pembicaraannya, sehingga mereka merasa jemu, akan tetapi diamlah, jikalau mereka meminta, maka nasihati karena mereka menginginkannya dan hindari olehmu sajak dalam berdoa, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. (HR. al-Bukhari, no. 6337)
  1. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu  berkata:
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ.

“Ajaklah bicara manusia dengan apa yang mereka ketahui.”

Disitu ada dalil, seyogyanya sesuatu yang tidak jelas tidak di sampaikan ke khalayak ramai, dan hendaknya berkata sesuai dengan apa yang dipahami orang lain, juga ucapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau ajak bicara satu kaum yang tidak dapat dipahami oleh mereka karena tu dapat menimbulkan fitnah.” (HR. Muslim)


[1] Muttafaq ‘alaih. [2] Seperti muttafaqun ‘alaih yang populer riwayat al-Bukhari & Muslim tapi muttafaqun alaih dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Majiduddin Ibnu Taimiyah rah artinya riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.
Read More »

Menyikapi ‘Nabi Palsu’ dan Ahmadiyah

Catatan untuk tambahan materi bisa dilihat di :
http://insistnet.com/
Tahun kesepuluh Hijriah atau 632 Masehi merupakan tahun krisis. Dua orang ‘nabi gadungan’ muncul hampir bersamaan. Bukan secara kebetulan. Tetapi lantaran terbuka kesempatan apabila tersiar berita bahwa Rasulullah jatuh sakit. Maka di negeri Yaman, seorang bernama al-Aswad ibn Ka‘b al-‘Unsi pun memproklamirkan diri sebagai nabi. Lewat pelbagai atraksi seperti menyuruh keledainya bersujud –tentu sesudah dilatihnya, al-Aswad sempat mendapat sejumlah pengikut di Najran dan Sanaa. Ia juga mengklaim didatangi oleh dua malaikat, satu bernama Sahiq, dan satu lagi bernama Syahiq, dengan wahyu berbunyi: “Wal mayisati maysa, wad darisati darsa, yahijjuna ushaba wa furada.” Lantas bagaimana sikap pemerintah kala itu? Gubernur Khalid ibn Sa‘id langsung mengusirnya dari Sanaa. Kemudian Rasulullah mengirim detasemen khusus untuk menumpasnya.

Misi tersebut berhasil, meski berita tewasnya nabi palsu itu baru sampai ke Madinah kira-kira dua minggu setelah Rasulullah wafat (Lihat:Imam at-Thabari,Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk, 3:185-187).


Musaylamah ibn Habib adalah orang kedua yang mengklaim dirinya nabi.Sebelumnya ia pernah menyertai rombongan sukunya, Bani Hanifah, yang baru masuk Islam, datang ke Madinah untuk menghadap Rasulullah. Ketika pamit, mereka memberitahu Rasulullah bahwa ada seorang anggota yang tidak ikut masuk tetapi menunggu di luar menjaga unta dan barang-barang bawaan mereka, yaitu Musaylamah. “Dia itu tidak lebih buruk dari kalian,” ujar Rasulullah seraya menyuruh mereka supaya memberikan hadiah yang sama kepadanya. Nah, sabda Rasulullah itulah yang dijadikan modal oleh Musaylamah untuk mengaku dirinya nabi di kemudian hari.

Tiba di Yamamah, kampung halamannya, Musaylamah berlagak dapat wahyu lantas bersajak: “Laqad an‘am Allah ‘ala l-hubla, akhraja minha nasmatan tas‘a, min bayni shifaq wa hasya.” Ia lalu menghalalkan minuman keras (khamr), hubungan seks tanpa nikah (zina) dan sebagainya. Kejadian ini dilaporkan oleh sejarawan Ibn Sa‘d dalam Thabaqat, 1:273 dan Imam at-Thabari dalam Tarikh, 3:138.

Ketika mendengar kondisi kesehatan Rasulullah terus memburuk, Musaylamah semakin berani menyuarakan klaimnya. Ditulisnya sepucuk surat kepada Rasulullah supaya wilayah kenabian dibagi dua saja, separuh untuk nabi orang Quraysh dan separuhnya lagi untuk nabi orang Yamamah –yaitu dirinya. Rasulullah jelas menolak permintaan tersebut dan menjuluki Musaylamah ‘si pembohong’ (al-Kadzdzab). Kepada dua orang suruhan Musaylamah yang membawa surat itu Rasulullah berkata: “Seandainya boleh membunuh utusan (diplomat), niscaya sudah kupenggal kepala kalian berdua (ama w-Allahi law-la anna r-rusul la tuqtalu, la-dharabtu a‘naqakuma)!” Peristiwa ini dituturkan oleh Imam at-Thabari, (Tarikh jilid 3, hlm.146).

Musaylamah dan para pengikutnya berhasil ditumpas habis oleh pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Khalid ibn al-Walid tidak lama sesudah Rasulullah wafat (Lihat:al-Baladzuri, Futuh 1:104-106)

Imam at-Thabari memberikan catatan penting yang terjemah Inggrisnya berbunyi: “It is said that the pretension of Musaylamah and of those who falsely alleged prophethood during the time of the Prophet [Muhammad saw] actually took place after the Prophet had returned from his ‘Farewell Pilgrimage’ and during the illness in which he died. … When the Prophet returned to Medina after performing the Final Pilgrimage, he began to have a complaint of illness. As travel was allowed, the news of the Prophet’s illness spread, so both al-Aswad and Musaylamah leapt at [the opportunity and claimed prophethood for themselves], the former in the Yemen and the latter in al-Yamamah, and their news reached the Prophet. After the Prophet had recovered, Thulayhah leapt at [the opportunity and claimed prophethood] in the land of the Banu Asad. Then in Muharram the Prophet complained of the pain from which he died.” (The History of al-Tabari, vol. IX – the Last Years of the Prophet, trans. with notes by Ismail K. Poonawala, New York 1990, hlm.107-108 = teks Arabnya dalam kitab Tarikh jilid 3, hlm.146-147).

Kemunculan dua orang nabi gadungan itu sebenarnya sudah diisyaratkan kepada Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan pernah suatu kali Rasulullah bermimpi melihat dua gelang emas diletakkan di atas telapak tangannya. Lama-kelamaan dua gelang emas itu tampak semakin membesar. Kemudian beliau mendengar suara berkata: ‘Tiuplah mereka!’Maka dengan satu tiupan dua gelang emas itupun sirna.‘Aku takwilkan mimpi tersebut sebagai dua orang penipu yang mengapit keberadaanku, yaitu penguasa Sanaa dan pemimpin Yamamah.’Demikian diceritakan Imam al-Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidayah wa n-Nihayah, juz 5, hlm.45-46.

Orang ketiga yang mengaku dirinya nabi ialah Thulayhah ibn Khuwaylid al-Asadi. Seperti halnya Musaylamah, ia pun awalnya seorang muslim, tetapi kemudian murtad dan menabikan diri. Rasulullah mengirim Dhirar ibn al-Azwar untuk memerangi nabi gadungan itu, namun belum berhasil sampai wafatnya. Di kemudian hari, tatkala sudah dikepung oleh pasukan Muslim, Thulayhah masih berlagak mendapat wahyu. “Telah datang Jibril kepadaku dan berbisik: (inna laka raha ka-rahahu, wa yawma la tansahu),” serunya. Sadar bahwa ia dan pengikutnya tak mungkin menang, Thulayhah pun akhirnya menyerah. Setelah ditangkap dan dibawa menghadap Khalifah Abu Bakr ra, ia pun bertobat dan kembali kepada Islam. Thulayhah tewas dalam sebuah pertempuran di Nahawand (Lihat: Imam at-Thabari, Tarikh, 3:186 dan Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah 3:95).

Masih di zaman Khalifah Abu Bakar, muncul di wilayah Oman seorang nabi palsu bernama Dzut-Taj Laqith ibn Malik al-Azdi. Terhadapnya Khalifah Abu Bakr ra bertindak tegas. Satu divisi tentara dikirim untuk membasmi aliran sesat itu dan membekuk kepalanya (Lihat Ibn Katsir, al-Bidayah wa n-Nihayah, 6:329).

Lalu pada zaman pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan, seorang bernama al-Harits ibn Sa‘id mengaku nabi. Mereka yang terpukau oleh aksi-aksi anehnya lalu ikut dan berbai‘at setia kepadanya. Namun berita mengenainya sampai juga kepada Khalifah. Maka diutuslah beberapa orang untuk meringkusnya. Setelah beberapa lama buron di kawasan Baitul Maqdis, Yerusalem, nabi gadungan itu akhirnya berhasil ditangkap. Ia kemudian dibawa menghadap Khalifah di Damaskus dan disuruh bertobat tetapi bersikukuh menolak. Al-Harits akhirnya dijatuhi hukuman mati dan disalib (Lihat: Ibn ‘Asakir, Tahdzib Tarikh Dimasyq, 3:442-5).

Ada beberapa poin yang dapat kita petik dari fakta dan data historis di atas. Pertama, nabi-nabi palsu baru muncul pada tahun terakhir menjelang Rasulullah wafat dan setelahnya. Yakni tatkala Umat Islam diliputi kegalauan apabila Rasulullah mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia pada tahun itu juga. Kemudian menyusul kekecohan singkat seputar suksesi kepemimpinan hingga terpilihnya Abu Bakr sebagai Khalifah.

Kedua, gerakan nabi-nabi gadungan itu tidak semua dan tidak melulu berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan Rasulullah dan Khalifah sesudahnya. Kalaupun betul Musaylamah menggalang kekuatan militer untuk melawan pasukan Muslim, maka hal itu dikarenakan ambisi politik pribadinya. Musaylamah keliru menyangka Rasulullah memperjuangkan Islam demi kekuasaan. Musaylamah tidak mengerti kalau hakikatnya justru sebaliknya: Rasulullah menggunakan politik untuk kepentingan agama, bukan seperti dirinya yang menggunakan agama untuk politik. Sebab itulah Musaylamah kemudian mengaku nabi dengan harapan mendapat dukungan politik dari penduduk Yamamah.

Jadi bagi Rasulullah dan para Khalifahnya, memerangi kemurtadan adalah aksi yang lebih bersifat teologis (melawan kebatilan) ketimbang politik (menumpas pemberontakan).

Maka nabi-nabi palsu yang tidak membangun kekuatan militer –semisal al-Aswad, Thulayhah dan Laqith– pun diperangi juga.

Ketiga, ada yang lugu bertanya: mengapa setelah menerima surat dari Musaylamah yang mengaku nabi, Rasulullah tidak lantas menyuruhnya keluar dari Islam dan mendirikan agama baru? Tentu saja tidak, sebab dengan menabikan dirinya maka Musaylamah sudah otomatis keluar dari Islam dan bikin agama sendiri. Ini sama dengan bertanya: mengapa Allah tidak menyuruh Iblis keluar dari iman dan mendirikan agama baru? Lha wong Iblis itu dengan aksi membangkang dan sikap angkuhnya itu sudah otomatis keluar dari iman alias kafir dan mempelopori gerakan ingkar Tuhan ingkar Nabi.

Faktanya cukup jelas bagaimana Rasulullah menyikapi para nabi palsu. Beliau tidak hanya mengirim surat balasan seperti: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musaylamah ‘sipenipu’. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Bumi ini seluruhnya milik Allah yang diberikannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Namun akhirnya bagi orang-orang yang bertakwa. ”Tetapi juga mengirim pasukan khusus untuk menghentikan sepak-terjang nabi gadungan dan para pengikutnya. Disamping menempuh jalan dakwah secara diplomatik dan persuasif, beliau juga melancarkan aksi ofensif dan defensif sesuai situasi dan kondisi.

Dalam hal ini patut kita simak lagi firman Allah dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya hukuman bagimereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membikin kerusakan di muka bumi adalah dihukum mati atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau diusir dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu merupakan suatu perendahan kepada mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka akan mendapat siksa yang hebat. Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka (janganlah mereka dihukum). Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ma’idah’:33-34).

Maka ahli-ahli hukum Islam yang disebut fuqaha sepakat bahwa orang yang murtad (keluar dari Islam) mesti dijatuhi hukuman mati. Ini dikukuhkan oleh sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam an-Nasa’i: “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu fa-uqtuluhu).” Maka tatkala Mu‘adz ibn Jabal berkunjung ke kediaman Abu Musa al-Asy‘ari di Yaman dan melihat seorang Yahudi diikat lantaran masuk Islam tetapi kemudian keluar lagi (murtad), beliau berkata: “Aku tidak akan duduk sebelum orang ini dieksekusi. Demikianlah ketentuan Allah dan RasulNya (la ajlisu hatta yuqtala, qadha’Allahi wa rasulihi).” Pendapat ini yang dipegang antara lain oleh Imam at-Thahawi dan sebagian ulama salaf. Sementara mayoritas ahli fiqih empat mazhab menyatakan perlunya kesempatan terakhir diberikan kepada yang si murtad untuk bertaubat dalam tempo maksimal tiga hari. Dasarnya adalah kebijakan Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab dan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib dalam menangani kasus murtad (Lihat: Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12, hlm.268-272 dan Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 1, hlm 207).

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “mencegah kerusakanadalah lebih diutamakan daripada mencari keuntungan” (dar’ al-mafasid muqaddam‘ala jalb al-mashalih).

Gerakan pemurtadan yang dipimpin para nabi palsu pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakr memang niscaya diperangi, karena saat itu kemurtadan bukan sekadar oposisi politik atau identik dengan pemberontakan yang merongrong kedaulatan pemerintah, tetapi juga merupakan makar untuk merobohkan bangunan ajaran Islam.

Membiarkan kemurtadan merajalela –walau atas nama hak asasi manusia– jelas lebih besar mafsadatnya ketimbang maslahatnya. Dan fitnah dalam arti pelecehan agama dan penggusuran hukum-hukum Allah dipandang lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam menangani pengikut nabi gadungan.

Tegasnya ulama

Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, pembelaan terhadap aliran-aliran sesat yang merusak mungkin saja tampak indah dari kacamata hak asasi manusia (HAM), tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid as- syari‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal. Dalam hal ini ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah preservasi agama (hifzhud-din), sebagaimana ditegaskan oleh Imam as-Syathibi (dalam kitab al-Muwafaqat 2:8-10), Imam al-Ghazali (dalam kitab al-Mustashfa 1:287), dan Ibn Qudamah (dalam kitab Rawdhat an-Nazhir, 1:414).

Kemaslahatan agama ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan harta-benda sekalipun. Makanya, al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Singapura misalnya, maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya nyawa. Jadi nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.

Nah, kalau Rasulullah, para Khalifah dan Sahabatnya serta ulama salaf saja begitu jelas dan tegas sikapnya terhadap nabi-nabi gadungan, alangkah lancangnya kaum liberal yang mengaku kader ormas Islam merasa punya hak veto untuk menggugat dengan mendaulat diri mereka sebagai orang-orang yang paling paham mengenai Syari‘at Islam seperti terlihat dari sikap mereka membela jemaah Ahmadiyah.

Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti opini kaum liberal yang keliru atau meneladani sikap Rasulullah dan para pewarisnya. Wallahu a‘lam.

----------------------------------------------------


Penulis pakar orientalis dari International Islamic University (IIU), Malaysia dan peneliti INSISTS. Tulisan ini diturunkan untuk menanggapi tulisan Akhmad Sahal berjudul, "Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah" di Tempointeraktif, Rabu, 16 Februari 2011
Read More »

Grand Opening Mentoring Sosialisasikan Busana Muslim

Pemubuhan tanda tangan dispanduk
Sabtu (26/02) mentoring fakultas psikologi mengadakan acara Grand Opening (GO) yang diadakan di Hall selatan fakultas psikologi. Acara tersebut dimulai pada pukul 07.00 dengan pemberian tausiah dari koordinator mentoring fakultas psikologi Andi Wiyarto sebagai arahan diskusi yang dilakukan dalam kelompok kecil mengenai bpakaian para mahasiswa/i. Diskusi tersebut berjalan setelah pemberian tausiah, kelompok ikhwan dibagi menjadi 3 kelompok dan kelompok akhwat menjadi 6 kelompok.

Tujuan acara tersebut untuk memberikan pemahaman kepada seluruh adik mentor angkatan 2010 mengenai pakaian zaman sekarang khususnya pakaian yang dikenakan oleh para mahasiswa/i di fakultas psikologi terutama untuk pemakaian jilbab bagi kaum muslimah. Hal tersebut sesuai dengan aturan universitas mengenai aturan berpakaian sopan beserta sanksinya yang tertera pada bab 13 pasal 20.

Untuk menindak lanjuti diskusi tersebut, mentoring fakultas psikologi yang bekerja sama dengan Imamupsi membuat spanduk untuk membudayakan busana islami dikalangan kampus. Spanduk tersebut ditandatangani oleh peserta diskusi sebagai wujud dukungan mengenai berbusana muslim. (Frq)
http://psikologi.ums.ac.id/
Read More »