Keterkaitan Islam dengan ilmu umum sebetulnya kelihatan sangat jelas. Tetapi anehnya, ada saja orang-orang yang masih kebingungan mengatakan bahwa, bagaimana mengkaitkan antara fisika dengan fiqh, masailul fiqh dengan biologi, kimia dengan perbandingan madzah, dan lain-lain. Biasanya orang yang kebingungan, atau sengaja membingungkan diri itu membuat contoh-contoh tersebut untuk membenarkan pendapatnya, bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
Akar masalahnya sebenarnya adalah sederhana, yaitu mereka
ingin menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu yang selama itu dikembangkan
dan digelutinya. Kecintaannya itu ditunjukkan lewat pendapat, bahwa
ilmu ke-Islaman tidak bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya. Mereka
mengkhawatirkan, ilmu yang dicintai itu terkalahkan oleh disiplin
ilmu lainnya.
Tetapi apapun, di tengah pro dan kontra terhadap
pandangan baru tersebut, pandangan integrasi itu semakin lama semakin
popular. Jargon yang dikembangkan bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu
pengetahuan. Islam adalah agama sekaligus ilmu dan peradaban yang tinggi.
Bahkan juga muncul kritik tajam dari sementara kalangan dengan
mengatakan bahwa, kemunduruan ummat Islam, di antaranya
adalah sebagai akibat adanya dikotomi ilmu pengetahuan itu.
Bagi orang yang sudah lama menggeluti
bidang fiqh, aqidah, akhlak, tarekh, dan lain-lain, atau
disebut sebagai ilmu agama, ingin bertahan, bahwa ilmu agama harus
dipertahankan dan tidak seharusnya diintegrasikan. Hasil pemikiran para ulama
yang sudah sekian tahun, dan telah terdokumentasi
menjadi berbagai buku, kitab atau literatur, semua itu harus
disebut sebagai ilmu, atau tegasnya ilmu agama. Mereka belum
percaya dengan konsep baru tersebut, ilmu agama akan masih bisa bertahan.
Kitab suci al Qurán dan hadits nabi juga memerintahkan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan tentang ciptaan
langit dan bumi, menyuruh umat Islam untuk berpikir, memperhatikan,
dan melihat alam semesta ini. Bahkan dalam al Qurán disebutkan
ayat-ayat yang menantang manusia untuk memperhatikan alam hingga
sekecil-kecilnya, misalnya dengan kalimat, : “tidakkah kau perhatikan bagaimana
unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan bumi
dihamparkan. Ayat-ayat al Qurán seperti itu, jika diresapi maknanya
secara mendalam, maka sebenarnya secara langsung dapat diartikan
sebagai anjuran untuk mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
Persoalannya adalah bahwa selama ini ayat-ayat seperti
itu belum dijadikan dasar oleh para ilmuwan tatkala mereka mempelajari alam. Para
ilmuwan, seperti ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan
seterusnya, dalam mengembangkan ilmunya tidak selalu mendasarkan
pada ayat al Qurán. Sementara lainnya, orang-orang yang menekuni al Qurán dan
hadits selalu berhenti pada kajian kitab suci itu saja. Kajian al Qurán yang
dilakukan tidak sampai melahirkan semangat untuk mengkaji
ciptaan Allah secara mendalam lewat kajian ilmiah sebagaimana yang dipesan al
Qurán itu. Wallahu a’lam.*
* (Tulisan
disadur dari kumpulan karya ilmiah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Posting Komentar